17 October 2013

Ternodanya Kesakralan Kopi

Kopi itu minuman sakral, setidaknya buat para mahasiswa yang pernah merasakan padatnya tugas. Dia menjadi minuman wajib untuk menjaga mata agar tetap melek, anti kantuk, agar tidak tertidur sehari menjelang deadline. Nah takaran yang pas itu penting. Kalau mau melek banget, ya dibuat pekat banget. Kalau mau biasa aja, atau buat santai, ya bisa dibuat kasual aja. Itu selera masing-masing sih sebenarnya. Nah, bagaimana jika takarannya di luar logika dan berpotensi mengguncang dunia persilatan? Itulah yang saya alami beberapa bulan yang lalu.
Begini ceritanya:

Beberapa bulan yang lalu, saya mengajak dua sahabat saya untuk mengunjungi salah satu tempat makan di Jogja yang menyediakan pancake durian. Waktu itu beberapa hari menjelang pulang ke Balikpapan. Karena dilanda sakau yang parah oleh pancake durian, jadilah saya mengajak mereka untuk jadi teman ngobrol di saat makan.

Tiba waktu memesan. Saya pesan satu pancake durian dan satu kopi hitam. Oke pancake sudah tersaji, kopi pun sudah nongkrong di atas meja, lengkap dengan lepek dan sendok kecil. Sesaat kopi itu nangkring, saya bingung, bengong, dan seolah-olah tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Saya rasa yang pernah bikin kopi dan tahu takaran pasnya pasti langsung bengong juga. Di sana, terlihat sekali endapan kopi yang tipis, bagian atas airnya sedikit bening. Padahal, yang namanya kopi itu ya hitam, endapan tidak terlihat sama sekali. Lah ini? Terlihat!

Sontak saya terkejut, lalu teriak, "Mbak! Gimana sih ini! Kok kopinya bening!"
Hahaha jelas tidak lah, saya kan baik hati dan rajin menabung, mana tega bentak-bentak begitu.

Sontak saya terdiam, lalu berpikir, "Apa iya ini kopi?". Saat itu juga saya sruput sedikit, dan kalian tahu apa yang saya rasakan? Ya, benar, rasa air putih (dan sedikit sekali rasa kopi). Dan saat itu juga saya sedih, saya galau, hati saya menangis, mulut saya meringis merasakan apa yang dirasakan kopi itu. Kopi, yang dari awal diproses sempurna melalui pemetikan, penjemuran, penggorengan, dan penggilingan; mau tidak mau harus merasakan dibiarkan terlihat serbuknya di dasar, sudah berupa endapan pula. Miris, sadis, tidak berperike-kopi-an.

Cukup sudah penderitaan yang dialami kopi ini. Akhirnya saya paksakan untuk meneguknya sampai habis dengan perlahan agar si Mbak yang bikin kopi itu tidak merasakan penderitaan yang saya rasakan.

Itulah kopi, bubuknya sakral sebab dari pembuatannya yang berkelas. Sebagaimana hal yang berbau sakral, ia harus diperlakukan istimewa. Jangan sampai dikhianati oleh pembuatnya yang tidak mengerti apa-apa soal kenikmatan menyeduh dan meminum kopi.

nb: Mbak, lain kali bikin kopi yang bermartabat ya... :)

No comments:

Post a Comment