11 December 2013

Sayap

Orang bilang, angin itu bisa menyampaikan pesan ke orang yang kita sayangi: orang tua, sahabat, saudara, kekasih, dosen (?). Saya pribadi kurang percaya dengan hal itu, karena di diktat Mekanika Fluida (dalam hal ini, udara) tidak ada mencantumkan mengenai kangen dan angin. Tidak ada korelasinya, saya secara tegas menolak, atas nama sains.

Tugas angin itu, salah satunya adalah menerbangkan, apapun, mulai dari daun, debu, layang-layang, masa lalu (oke ini ngaco), dan benda-benda lainnya yang masih bisa diterbangkan oleh angin (tentu saja dengan berbagai kecepatan berbeda-beda untuk setiap massa jenis benda).

Selain untuk menerbangkan, angin juga berfungsi sebagai prasarana dari benda-benda yang bergerak di udara, hidup atau tidak hidup. Contoh benda hidup yang memerlukan angin adalah burung (hewan, jangan pikirkan burung yang lain, sudah saya bilang jangan pikirkan kok masih bandel). Contoh benda tidak hidup (buatan manusia) yang memerlukan angin adalah pesawat. Tidak perlu saya jelaskan lebih lanjut mengenai pesawat, saya sudah lelah (?).

Sudah tergambar jelas, yang namanya benda terbang (tidak termasuk piring terbang) pasti membutuhkan angin supaya bisa terbang. Bagi burung, terbang bukan berarti bebas, meski kita semua menganggapnya suatu kenikmatan tersendiri untuk bisa terbang dengan bebasnya. Faktanya, burung tidak selalu merasa bebas, apalagi jika terbang sendiri, tanpa koloni yang bisa mengurangi hambatan udara kencang di depannya.

Begitulah manusia (bukan burung), kita kuat jika bersama koloni kita (dalam hal ini, sebagai pria, ya maksudnya para sahabat pria), kita menjadi lemah jika tidak bersama koloni, lebih tepatnya, terlihat lemah. Padahal, pantang hukumnya bagi pria terlihat lemah di hadapan khalayak ramai. Nah, koloni itu seperti bulu-bulu yang ada pada sayap. Tapi sayangnya, bulu bukanlah penopang utama sayap, melainkan tulang. Nah, tulang yang membentuk sayap inilah yang dinamakan keluarga dalam struktur kehidupan. Mereka penopang utama kehidupan kita, tanpa mereka, kita bukan apa-apa.

Tulang yang membentuk sayap, yang saya bilang dengan keluarga, terdiri atas struktur yang komplit. Semakin kompleks ia, semakin kuat strukturnya. Keluarga itu sendiri terdiri dari keluarga yang kita kenal sejak lahir, dan keluarga yang kita kenal setelah kita melalui berbagai fase hidup sampai di atas 20 tahun. Umur di mana cinta dirasa adalah hal yang suci, tidak lagi untuk bermain-main seperti zaman sekolah dulu. Umur yang dirasa sudah matang untuk menemukan belahan jiwa yang bisa diajak untuk berlayar mengarungi kehidupan yang baru. Umur yang dirasa sudah matang untuk menentukan apakah belahan jiwa itu benar-benar akan terus menjadi partner seumur hidup.

Tidak mudah memang untuk menentukan hal serumit itu, dan tidak terlalu sulit juga kok untuk menemukan kecocokan-kecocokan yang ada. Jika sudah terbiasa berbicara bersama, toh pada akhirnya kenyamanan akan mudah ditemukan, dengan segala kemungkinan untuk menutup beberapa kekurangan. Klop, dan pada akhirnya sepakat untuk berlayar bersama.

Jika dirasa dia adalah orang yang cocok dan membuat kita selalu nyaman, maka datangilah ia dan keluarganya, terutama ayahnya atau walinya. Pasang mimik serius, dan lanjutkan sendiri kisahnya. Memang bukan hal yang mudah jika sudah sampai di tahap ini. Makanya, perbanyak doa dan usaha yang maksimal, biar segala kegugupan menjadi kekuatan. Ah, saya sudah tidak sanggup lagi meneruskan. Jujur, saya sendiri belum sampai pada tahap ini. Kenapa? Karena baru-baru ini sampai pada tahap menemui ibunya. Ayahnya? Belum.

Kalau tahap tetrakhir ini dirasa sudah lolos, maka selamat, struktur sayap yang kokoh sudah di depan mata, tinggal bagaimana mengelola dengan baik saja. Bagaimana? Sudah siapkah membuat struktur sayap yang kokoh untuk terbang melihat kehidupan indah dari atas?


"Ditulis dengan sepenuh sadar, bukan efek dari mabuk nasi telor."

17 October 2013

Ternodanya Kesakralan Kopi

Kopi itu minuman sakral, setidaknya buat para mahasiswa yang pernah merasakan padatnya tugas. Dia menjadi minuman wajib untuk menjaga mata agar tetap melek, anti kantuk, agar tidak tertidur sehari menjelang deadline. Nah takaran yang pas itu penting. Kalau mau melek banget, ya dibuat pekat banget. Kalau mau biasa aja, atau buat santai, ya bisa dibuat kasual aja. Itu selera masing-masing sih sebenarnya. Nah, bagaimana jika takarannya di luar logika dan berpotensi mengguncang dunia persilatan? Itulah yang saya alami beberapa bulan yang lalu.
Begini ceritanya:

Beberapa bulan yang lalu, saya mengajak dua sahabat saya untuk mengunjungi salah satu tempat makan di Jogja yang menyediakan pancake durian. Waktu itu beberapa hari menjelang pulang ke Balikpapan. Karena dilanda sakau yang parah oleh pancake durian, jadilah saya mengajak mereka untuk jadi teman ngobrol di saat makan.

Tiba waktu memesan. Saya pesan satu pancake durian dan satu kopi hitam. Oke pancake sudah tersaji, kopi pun sudah nongkrong di atas meja, lengkap dengan lepek dan sendok kecil. Sesaat kopi itu nangkring, saya bingung, bengong, dan seolah-olah tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Saya rasa yang pernah bikin kopi dan tahu takaran pasnya pasti langsung bengong juga. Di sana, terlihat sekali endapan kopi yang tipis, bagian atas airnya sedikit bening. Padahal, yang namanya kopi itu ya hitam, endapan tidak terlihat sama sekali. Lah ini? Terlihat!

Sontak saya terkejut, lalu teriak, "Mbak! Gimana sih ini! Kok kopinya bening!"
Hahaha jelas tidak lah, saya kan baik hati dan rajin menabung, mana tega bentak-bentak begitu.

Sontak saya terdiam, lalu berpikir, "Apa iya ini kopi?". Saat itu juga saya sruput sedikit, dan kalian tahu apa yang saya rasakan? Ya, benar, rasa air putih (dan sedikit sekali rasa kopi). Dan saat itu juga saya sedih, saya galau, hati saya menangis, mulut saya meringis merasakan apa yang dirasakan kopi itu. Kopi, yang dari awal diproses sempurna melalui pemetikan, penjemuran, penggorengan, dan penggilingan; mau tidak mau harus merasakan dibiarkan terlihat serbuknya di dasar, sudah berupa endapan pula. Miris, sadis, tidak berperike-kopi-an.

Cukup sudah penderitaan yang dialami kopi ini. Akhirnya saya paksakan untuk meneguknya sampai habis dengan perlahan agar si Mbak yang bikin kopi itu tidak merasakan penderitaan yang saya rasakan.

Itulah kopi, bubuknya sakral sebab dari pembuatannya yang berkelas. Sebagaimana hal yang berbau sakral, ia harus diperlakukan istimewa. Jangan sampai dikhianati oleh pembuatnya yang tidak mengerti apa-apa soal kenikmatan menyeduh dan meminum kopi.

nb: Mbak, lain kali bikin kopi yang bermartabat ya... :)

11 October 2013

Nostalji Kepala Dua

Beberapa hari yang lalu, ketika koneksi internet sedang memadai, kuota masih banyak, saya sempatkan waktu itu buat melihat kembali album foto lama, album foto semester-semester awal kuliah sampai tahun kedua. Sempat berpikir berat untuk segera memisahkan diri dari para kolega, menuju ke kehidupan yang lebih nyata, lengkap dengan orang-orang baru yang tentu sifat-sifatnya jauh berbeda dengan teman-teman lama.

Tapi itulah hidup, seperti yang teman saya pernah petuahkan. Dia berkata, "Begitulah hidup, cuma sekedar mampir di setiap tahapnya. Pas kamu dulu SD punya teman-teman yang seru, SMP punya teman-teman yang nakal, SMA punya teman-teman yang baik, sampai kuliah punya teman-teman yang heterogen tapi tidak kalah serunya. Jalani saja, di tiap tahap pasti ada kejutan baiknya. Jangan sedih, teman-teman baru di dunia kerja juga gak kalah serunya kok, nikmati aja."

Begitulah kurang lebih petuahnya. Itu salah satu petuah yang akan saya ingat betul sampai tua nanti, buat saya ceritakan ke anak-anak sampai cucu-cucu saya, yang mungkin saja akan mengalahkan serial HIMYM yang hanya 9 season, hehe.

Jadi, Kawan, nikmatilah setiap jenjang hidupmu, buatlah temanmu mengerti akan kehadiranmu, buatlah mereka merasakan betapa menyenangkannya dirimu. Begitu.

Selamat menempuh kehidupan baru dan nyata, Kawan!