28 May 2013

Gunung Bromo yang Katanya Gunung (Bagian II)

"Ah, aku bosan.", gumamku dalam hati. Perjalanan panjang yang akan memakan waktu hingga 8 jam. Kereta baru berangkat pun sudah tergambar di ruang masa depan bagaimana nantinya. Suara gaduh lokomotif, suara gaduh gerakan mengular kereta, suara para pedagang asongan yang bisa kapan saja membangunkanku di saat terlelap.
Maklum saja, kami menuju Probolinggo dengan kelas ekonomi. Kelas ekonomi bisa dibilang adalah kasta terendah dalam kancah per-kereta api-an. Bagaimana ada pembagian kasta kalau kita menuntut kesetaraan?
Jawabannya simpel, pembagian kasta untuk memenuhi kemampuan membeli dari berbagai lapisan masyarakat. Untuk ekonomi, sebagian besar dihuni oleh mahasiswa yang ingin pulang kampung, turis asing maupun domestik yang ingin menghemat pengeluaran transportasi, serta keluarga menengah ke bawah yang terkadang menggunakan lorong sebagai tempat tidur.
Ah, ekonomi, kau potret dari betapa senjangnya jarak si kaya dan si miskin.

Gambaran dari pikiran liar ruang masa depan ternyata tidak hanya isapan jempol kaki. Dengan kata lain, itu semua benar-benar terjadi di sepanjang perjalanan, nonstop, ya nonstop, paling tidak ada jeda sekian menit saja. Apalah artinya jeda sekian menit jika tidak memuaskan. Jeda yang terbilang pendek itu sedikit membuat tidak nyaman, sekaligus mengganggu akibat dari nakalnya kursi yang sudutnya tidak bisa diubah sama sekali.
Ah, ekonomi, kau potret dari betapa harga yang murah memang membayar semua ketidaknyamanan itu.

Sepanjang perjalanan memandang kanan kiri yang dihiasi oleh pemandangan yang biasa saja: sawah, hutan, rumah huni pinggir jalan beserta jemurannya, anak kecil berlari mengejar temannya, tiang listrik yang kaku, palang pembatas perlintasan yang kadang tidak dipatuhi oleh pengguna kendaraan, dan masih banyak lagi realita masyarakat kita yang rasa-rasanya sudah penuh sesak saling bertetangga.

Memandang lagi ke depan, seorang ibu dari Jombang (yang saya tahu dari obrolan singkat dan tidak bermakna sama sekali) yang sepertinya ingin pulang ke kampung halamannya.
Sembari tersenyum dia menawarkan sedikit makanan kepada kami bertiga. Dan bisa ditebak betapa sok jual mahalnya kami. Dengan tidak tegas dan malu-malu, kami menolak pemberiannya karena masih ada bekal kami yang belum dimakan. Alang-alang mubazir padahal pengen. Ah, menjaga imej memang berat, status mahasiswa sopan dan baik hati masih berhasil kami pegang dengan sedikit terbuka di sela-sela jemari.

Memandang ke belakang, tidak apa-apa selain sandaran kursi sudutnya konstan, statis, bikin pegal punggung. Lalu sedikit melirik ke bagian ke kanan, ada beberapa keluarga yang sedang asyik membicarakan sesuatu, entah tentang politik, gaya hidup, atau malahan sekedar mendiskusikan besok mau makan apa. Sedih. Sedikit.

Memandang ke atas, sedikit ke kanan, tasku terbaring mantap dengan nyenyaknya. Ia tidak bergoyang sedikitpun. Ia terhimpit di antara dua tas besar yang nakal, genit menyentuh bagian samping tasku.
Ia adalah ransel yang sudah sekian tahun menemani masa studiku di UGM selama 3 tahun lebih sedikit. Tas yang luar biasa awet, tidak ada robek sedikitpun. Segaka puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang menciptakan ilmu pengetahuan sehingga ditemukanlah suatu metode menjahit yang sempurna.
Terima kasih juga kepada seluruh penjahit tas di seluruh dunia. "Kalian luar biasa!", begitu kata Ariel NOAH.

Memandang kemanapun bosan, kecuali memandang ke kanan. Mereka teman perjalananku. Ya, siapa lagi kalau bukan manusia. Manusia yang bisa diajak ngobrol, bercerita tentang apapun kecuali tanggal ulang tahun, haha.
Banyak hal yang kami obrolkan yang tidak perlu kalian (para pembaca) tahu. Cukup kami dan beberapa saksi bisu.
Tapi sayangnya obrolan itu sebentar saja sebelum pada akhirnya angin dari luar berhembus menyapu semua keramaian di dalam menjadi sebuah suara turbulensi angin. Turbulensi sepoinya menghanyutkan, membuat kami ingin tidur.
Dan pada akhirnya tidurlah mereka dan aku masih terjaga. Masih membuka mata, menerawang masa lalu dan sedikit rencana di masa depan: skripsi. Seketika aku jengkel mikirnya.

Sekian jam melamun dengan sedikit tidur ringan. Sambil mendengarkan lagu-lagu dari film "Les Miserables", "Inception", dan "Petualangan Sherina". Syukurlah aku tak sendiri, masih ada HP dengan internetnya untuk menyaring informasi dan hiburan musik sederhananya.

Sekian jam terus berlalu sampai tiba saatnya menuju stasiun di Surabaya (lupa namanya). Dengan mata yang sedikit sepet karena cuma tidur sebentar, ditambah angin deras mengguyur mata menjadikan sepet kian menjadi. Ya, kami tiba di Surabaya.
Itu artinya beberapa jam lagi tiba di Probolinggo, tujuan final kami.

Bersambung...