18 January 2013

Galau Finansial

Keadaan keuangan merupakan situasi yang amat sangat penting dalam kehidupan mahasiswa. Saking pentingnya, kita tidak bisa hidup tanpanya.
Namun apa jadinya jika keuangan mengalami kegalauan?
Sepertinya saya sedang mengalaminya. Di saat kebutuhan banyak, di saat itulah dia datang menghampiri, tidak terduga.

Ada beberapa hal yang membuat saya mengalami galau finansial. Berikut penuturan langsung dari penulis.

Satu hal yang mungkin dianggap tidak penting bagi sebagian orang, saat ini saya ngidam miniatur kapal Going Merry.

Gambar miniatur kapal Going Merry
Tidak hanya itu, ada lagi barang yang ingin saya beli, dan statusnya sangat penting, alias harus punya!
Itu adalah sarung tangan khusus receiver, yang biasa dipakai oleh atlet NFL untuk menangkap bola.
Kenapa sangat penting? Karena saya akhir-akhir ini berulang kali mengalami cedera jempol, salah satu resiko penangkap bola dalam flag football. Cedera jempol yang dominan adalah terkilir, biasanya baru akan sembuh dalam beberapa hari. Tidak terlalu sakit sih, cuma kurang nyaman saja kalau beraktivitas.
Itulah mengapa saya sangat membutuhkan sarung tangan itu. Dalam waktu cepat harus punya. Lagi-lagi ini membuat saya dilema.

Satu lagi, dan yang terpenting, dalam waktu dekat saya diajak berkeliling setengah Pulau Jawa. Oke agak berlebihan, sebetulnya tidak sampai setengah juga, seperempat juga belum. Maksudnya setengah Pulau Jawa ya pelesir dari Cilacap, Malang, dan Situbondo. Jika dalam satu titik di tiap kota kita buat radius khayalan sekitar ratusan kilometer, mungkin bisa saja setengah Pulau Jawa kita jamahi.
Pelesir sebenarnya bukan bermaksud apa-apa, hanya untuk bersenang-senang sambil menikmati keindahan Indonesia (tsaaah, lagi bijak).

Apa lagi? Sebenarnya hanya itu yang membuat saya dilema bukan kepalang. Entah kenapa dilema lebih saya suka struktur kalimatnya ketimbang galau. Ya maklum saja ya, saya kan tumbuh di tahun '90-an.

Dan pada akhirnya dari kesemua hal di atas, sepertinya sulit untuk menentukan mana yang akan jadi prioritas. Biarkan saya yang menjawab.

Lagi malas nulis :v

09 January 2013

Individu yang 'Kuat'

Kita semua dilahirkan sendiri, tapi ketika sudah mencapai usia yang bisa dibilang agak dewasa, kita tidak bisa hidup sendiri. Karena manusia adalah makhluk sosial (dari matkul Kewarganegaraan) maka kita senantiasa membutuhkan orang-orang di sekitar kita, mulai dari orang tua, saudara, teman, dosen, atau siapapun itu (?).
Semua orang di sekitar kita, pasti memiliki karakter masing-masing, dan ada saja di antara mereka terdapat beberapa orang yang kuat. Kuat di sini bukan secara bahasa, melainkan secara istilah.
Kuat secara bahasa bisa dilihat dari fisik, dia kuat, dia kekar, dia bisa mengangkat beban yang berat (saya banget nih). Oke itu cuma bercanda...
Nah kuat secara istilah bisa dikaitkan dengan masalah hati. Ya hati, lebih spesifik, masalah cinta. Mungkin bisa ditafsirkan sendiri tanpa bimbingan saya. Terlalu menyakitkan kalau menjelaskannya (halah!).
Jadi kuat itu adalah ketahanan suatu benda untuk menerima beban yang ditekankan kepadanya, dalam satuan kN biasanya. Loh kenapa jadi matematis begini? Oh maklum, saya anak teknik soalnya. Problem? :v

Ngomong-ngomong, jarang-jarang saya membahas masalah ini. Saya dikenal sebagai orang yang cuek sebenarnya. Tapi tidak akhir-akhir ini. Mungkin akibat dari pertambahan usia, yang semakin hari semakin tua saja. Dan semakin memikirkan masa depan yang banyak ditanyakan oleh banyak orang.

Kembali ke inti masalah...
Jadi orang-orang kuat itu luar biasa di mata saya. Mereka senantiasa menahan rasa sakit yang tak tertahankan (serasa iklan Panad*l). Dan pada akhirnya (untuk menyingkat waktu) saya nobatkan predikat orang kuat kepada mereka yang jatuh cinta dalam diam (tsaaah).
Mereka ini hebat, mereka begitu kuat menahan suatu perasaan, tidak pernah mengungkapkannya padahal ingin sekali. Mungkin karena takut tidak bisa mempertanggungjawabkan perasaan itu, atau mungkin juga bingung apa memang sesuka itu, atau jangan-jangan perasaan itu cuma sekelebat efek dari keegoisan masa puber kedua.
Sebenarnya saya tahu mereka ini seperti apa maunya. Kenapa saya tahu? Ya karena saya juga pernah mengalaminya.

Untuk lebih jelasnya saya beri contoh saja ya, yang simpel, dan seperti biasa fiktif.

Jadi begini, ada orang namanya A. Nah si A ini suka sama seseorang begitu, sebut saja orang yang dia suka dengan nama B. A dan B ini jarang bertemu, tapi si A suka mengamati si B secara diam-diam (cieee).
Mau mendekati entah kenapa dag dig dug mendominasi, akhirnya tidak jadi menegur dan mengajak berkenalan. Begitu terus setiap hari, dan selalu kejadian itu yang terulang, kejadian di mana si A mengamati si B dalam diam. Selalu... begitu, sampai si narator bisan menunggunya.
Nah kejadian itu berulang kali terjadi selama beberapa bulan, sampai akhirnya si A dan B ini sekelas. Entah takdir entah apa, yang jelas ini semau saya, toh saya yang bikin cerita (egois).
Si A, tentu saja tanpa disuruh untuk bergembira, sudah mencak-mencak sendiri, berteriak dalam hati, "Inilah kesempatanku."
Dan apa yang terjadi... Yak, benar, si A belum berani untuk mengajak berkenalan. Dan itu (lagi-lagi) berlangsung beberapa bulan.
"Ah si A ini payah ya, mau kenalan aja susahnya minta ampun.", kata pembaca seraya menatap sinis, dan kata teman dekatnya (sambil menatap meremehkan juga).
Ah tapi tidak ada yang bisa disalahkan di sini. Bagaimanapun yang namanya jantung berdegup lebih kencang itu kerap mengalahkan segalanya, termasuk keberanian. Awalnya sudah mantap ingin menegur duluan, eh lagi-lagi jantung mendominasi. Ya Kawan, jantung itu egois, dia selalu mengambil alih segala keberanian kita. Oh iya, sebenarnya bukan jantung sih, tapi lebih ke hormon insulin. Entah itu hormon apa, yang jelas dia bertanggung jawab dengan segala dag dig dug yang pernah kita alami, dialah yang memacu adrenalin untuk berpacu lebih cepat, mengalahkan keberanian tuannya. Kejam memang, tapi kita tidak bisa menyalahkan hormon juga, bagaimanapun dia tak pernah salah. Toh dia ciptaan Tuhan, dosa loh kalau menyalahkan ciptaan Tuhan itu secara sembarangan, bahaya (bijak).

Karena selalu dag dig dug itulah, si A curhat (tsaaah) ke teman dekatnya yang kebetulan dekat dengan si B. Yap, takdir selalu berpihak pada orang yang berharap (tidak selalu sebenarnya). Tanpa dinyanapun di A sudah punya inisiatif untuk dikenalkan ke si B.
Oh iya, kita sebut saja teman dekatnya si A dengan nama C. Semoga bermanfaat (?).

Time slip... Si A akhirnya sudah kenal dengan si B. Terima kasih buat si C yang mau dengan terpaksa membantu proses cerita. Sekali lagi terima kasih.

Waktu terus bergulir, sejalan dengan bertambah dekatnya mereka (si A dan si B). Si C turut senang. Bagaimana tidak? Si C akhirnya tidak direpotkan oleh si A lagi. Si C senang sekaligus tenang.
Eh tapi, kedekatan si A dan si B ini hanya sebatas teman, tidak lebih, selebihnya cuma teman kelompok tugas. Tidak lebih, selebihnya cuma teman makan, itupun bareng yang lain. Tidak lebih, selebihnya cuma teman pulang, itupun (lagi-lagi) bareng teman-teman yang lain.
Segala tidak lebih, karena memang tidak ada yang lebih di antara mereka.

Selebihnya adalah, bersambung...