11 December 2013

Sayap

Orang bilang, angin itu bisa menyampaikan pesan ke orang yang kita sayangi: orang tua, sahabat, saudara, kekasih, dosen (?). Saya pribadi kurang percaya dengan hal itu, karena di diktat Mekanika Fluida (dalam hal ini, udara) tidak ada mencantumkan mengenai kangen dan angin. Tidak ada korelasinya, saya secara tegas menolak, atas nama sains.

Tugas angin itu, salah satunya adalah menerbangkan, apapun, mulai dari daun, debu, layang-layang, masa lalu (oke ini ngaco), dan benda-benda lainnya yang masih bisa diterbangkan oleh angin (tentu saja dengan berbagai kecepatan berbeda-beda untuk setiap massa jenis benda).

Selain untuk menerbangkan, angin juga berfungsi sebagai prasarana dari benda-benda yang bergerak di udara, hidup atau tidak hidup. Contoh benda hidup yang memerlukan angin adalah burung (hewan, jangan pikirkan burung yang lain, sudah saya bilang jangan pikirkan kok masih bandel). Contoh benda tidak hidup (buatan manusia) yang memerlukan angin adalah pesawat. Tidak perlu saya jelaskan lebih lanjut mengenai pesawat, saya sudah lelah (?).

Sudah tergambar jelas, yang namanya benda terbang (tidak termasuk piring terbang) pasti membutuhkan angin supaya bisa terbang. Bagi burung, terbang bukan berarti bebas, meski kita semua menganggapnya suatu kenikmatan tersendiri untuk bisa terbang dengan bebasnya. Faktanya, burung tidak selalu merasa bebas, apalagi jika terbang sendiri, tanpa koloni yang bisa mengurangi hambatan udara kencang di depannya.

Begitulah manusia (bukan burung), kita kuat jika bersama koloni kita (dalam hal ini, sebagai pria, ya maksudnya para sahabat pria), kita menjadi lemah jika tidak bersama koloni, lebih tepatnya, terlihat lemah. Padahal, pantang hukumnya bagi pria terlihat lemah di hadapan khalayak ramai. Nah, koloni itu seperti bulu-bulu yang ada pada sayap. Tapi sayangnya, bulu bukanlah penopang utama sayap, melainkan tulang. Nah, tulang yang membentuk sayap inilah yang dinamakan keluarga dalam struktur kehidupan. Mereka penopang utama kehidupan kita, tanpa mereka, kita bukan apa-apa.

Tulang yang membentuk sayap, yang saya bilang dengan keluarga, terdiri atas struktur yang komplit. Semakin kompleks ia, semakin kuat strukturnya. Keluarga itu sendiri terdiri dari keluarga yang kita kenal sejak lahir, dan keluarga yang kita kenal setelah kita melalui berbagai fase hidup sampai di atas 20 tahun. Umur di mana cinta dirasa adalah hal yang suci, tidak lagi untuk bermain-main seperti zaman sekolah dulu. Umur yang dirasa sudah matang untuk menemukan belahan jiwa yang bisa diajak untuk berlayar mengarungi kehidupan yang baru. Umur yang dirasa sudah matang untuk menentukan apakah belahan jiwa itu benar-benar akan terus menjadi partner seumur hidup.

Tidak mudah memang untuk menentukan hal serumit itu, dan tidak terlalu sulit juga kok untuk menemukan kecocokan-kecocokan yang ada. Jika sudah terbiasa berbicara bersama, toh pada akhirnya kenyamanan akan mudah ditemukan, dengan segala kemungkinan untuk menutup beberapa kekurangan. Klop, dan pada akhirnya sepakat untuk berlayar bersama.

Jika dirasa dia adalah orang yang cocok dan membuat kita selalu nyaman, maka datangilah ia dan keluarganya, terutama ayahnya atau walinya. Pasang mimik serius, dan lanjutkan sendiri kisahnya. Memang bukan hal yang mudah jika sudah sampai di tahap ini. Makanya, perbanyak doa dan usaha yang maksimal, biar segala kegugupan menjadi kekuatan. Ah, saya sudah tidak sanggup lagi meneruskan. Jujur, saya sendiri belum sampai pada tahap ini. Kenapa? Karena baru-baru ini sampai pada tahap menemui ibunya. Ayahnya? Belum.

Kalau tahap tetrakhir ini dirasa sudah lolos, maka selamat, struktur sayap yang kokoh sudah di depan mata, tinggal bagaimana mengelola dengan baik saja. Bagaimana? Sudah siapkah membuat struktur sayap yang kokoh untuk terbang melihat kehidupan indah dari atas?


"Ditulis dengan sepenuh sadar, bukan efek dari mabuk nasi telor."

17 October 2013

Ternodanya Kesakralan Kopi

Kopi itu minuman sakral, setidaknya buat para mahasiswa yang pernah merasakan padatnya tugas. Dia menjadi minuman wajib untuk menjaga mata agar tetap melek, anti kantuk, agar tidak tertidur sehari menjelang deadline. Nah takaran yang pas itu penting. Kalau mau melek banget, ya dibuat pekat banget. Kalau mau biasa aja, atau buat santai, ya bisa dibuat kasual aja. Itu selera masing-masing sih sebenarnya. Nah, bagaimana jika takarannya di luar logika dan berpotensi mengguncang dunia persilatan? Itulah yang saya alami beberapa bulan yang lalu.
Begini ceritanya:

Beberapa bulan yang lalu, saya mengajak dua sahabat saya untuk mengunjungi salah satu tempat makan di Jogja yang menyediakan pancake durian. Waktu itu beberapa hari menjelang pulang ke Balikpapan. Karena dilanda sakau yang parah oleh pancake durian, jadilah saya mengajak mereka untuk jadi teman ngobrol di saat makan.

Tiba waktu memesan. Saya pesan satu pancake durian dan satu kopi hitam. Oke pancake sudah tersaji, kopi pun sudah nongkrong di atas meja, lengkap dengan lepek dan sendok kecil. Sesaat kopi itu nangkring, saya bingung, bengong, dan seolah-olah tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Saya rasa yang pernah bikin kopi dan tahu takaran pasnya pasti langsung bengong juga. Di sana, terlihat sekali endapan kopi yang tipis, bagian atas airnya sedikit bening. Padahal, yang namanya kopi itu ya hitam, endapan tidak terlihat sama sekali. Lah ini? Terlihat!

Sontak saya terkejut, lalu teriak, "Mbak! Gimana sih ini! Kok kopinya bening!"
Hahaha jelas tidak lah, saya kan baik hati dan rajin menabung, mana tega bentak-bentak begitu.

Sontak saya terdiam, lalu berpikir, "Apa iya ini kopi?". Saat itu juga saya sruput sedikit, dan kalian tahu apa yang saya rasakan? Ya, benar, rasa air putih (dan sedikit sekali rasa kopi). Dan saat itu juga saya sedih, saya galau, hati saya menangis, mulut saya meringis merasakan apa yang dirasakan kopi itu. Kopi, yang dari awal diproses sempurna melalui pemetikan, penjemuran, penggorengan, dan penggilingan; mau tidak mau harus merasakan dibiarkan terlihat serbuknya di dasar, sudah berupa endapan pula. Miris, sadis, tidak berperike-kopi-an.

Cukup sudah penderitaan yang dialami kopi ini. Akhirnya saya paksakan untuk meneguknya sampai habis dengan perlahan agar si Mbak yang bikin kopi itu tidak merasakan penderitaan yang saya rasakan.

Itulah kopi, bubuknya sakral sebab dari pembuatannya yang berkelas. Sebagaimana hal yang berbau sakral, ia harus diperlakukan istimewa. Jangan sampai dikhianati oleh pembuatnya yang tidak mengerti apa-apa soal kenikmatan menyeduh dan meminum kopi.

nb: Mbak, lain kali bikin kopi yang bermartabat ya... :)

11 October 2013

Nostalji Kepala Dua

Beberapa hari yang lalu, ketika koneksi internet sedang memadai, kuota masih banyak, saya sempatkan waktu itu buat melihat kembali album foto lama, album foto semester-semester awal kuliah sampai tahun kedua. Sempat berpikir berat untuk segera memisahkan diri dari para kolega, menuju ke kehidupan yang lebih nyata, lengkap dengan orang-orang baru yang tentu sifat-sifatnya jauh berbeda dengan teman-teman lama.

Tapi itulah hidup, seperti yang teman saya pernah petuahkan. Dia berkata, "Begitulah hidup, cuma sekedar mampir di setiap tahapnya. Pas kamu dulu SD punya teman-teman yang seru, SMP punya teman-teman yang nakal, SMA punya teman-teman yang baik, sampai kuliah punya teman-teman yang heterogen tapi tidak kalah serunya. Jalani saja, di tiap tahap pasti ada kejutan baiknya. Jangan sedih, teman-teman baru di dunia kerja juga gak kalah serunya kok, nikmati aja."

Begitulah kurang lebih petuahnya. Itu salah satu petuah yang akan saya ingat betul sampai tua nanti, buat saya ceritakan ke anak-anak sampai cucu-cucu saya, yang mungkin saja akan mengalahkan serial HIMYM yang hanya 9 season, hehe.

Jadi, Kawan, nikmatilah setiap jenjang hidupmu, buatlah temanmu mengerti akan kehadiranmu, buatlah mereka merasakan betapa menyenangkannya dirimu. Begitu.

Selamat menempuh kehidupan baru dan nyata, Kawan!

06 September 2013

End Zone dan Friendzone

Adalah sebuah hal yang sangat jarang ketika saya kepikiran untuk membuat suatu artikel yang berhubungan dengan kehidupan romansa. Kenapa? Karena saya tipikal pria yang tidak terlalu memusingkan masalah ini. Memang saya akui tidak sepenuhnya saya tidak peduli, ada kalanya terlintas sedikit perihal romansa di dalam ruang otak saya, yang dengan seenaknya menyelinap di antara saraf-saraf penyusun memori ini.

Liar. Ya, begitulah cinta. Kadang muncul di saat kita sibuk mengejar mimpi. Ketika kita sibuk mengejar deadline skripsi, deadline laporan KP, deadline proyek, dan lain-lain. Belum lagi bisnis kecil-kecilan untuk sedikit menopang perekonomian pribadi untuk membeli sesuatu yang sangat kita inginkan tapi bingung dan malu ingin minta sama orang tua. Sudah cukuplah mereka kita repotkan dengan membayar SPP tiap semester, belum termasuk SKS, belum termasuk remidial. Sudah cukuplah mereka bersabar dengan kita yang berkapasitas biasa-biasa saja (dalam hal akademis) dan tidak kunjung lolos beasiswa karena kurangnya IPK minimum yang disyaratkan.

Loh mau kemana tulisan ini? Malah melanglang buana ke masalah akademis...

Jadi begini, saya ajak Anda ke dalam pikiran saya. Ayo kita pikirkan salah satu permainan olahraga yang keras, yang membutuhkan strategi yang sangat matang, yang membutuhkan pelindung yang komplit mulai dari helm sampai armor. Ya, benar. Itulah american football. Ingat, bukan rugby (entah sudah berapa kali saya menjelaskan ke khalayak kalau rugby dan american football itu jauh berbeda). Dan untuk memudahkan pembahasan selanjutnya, mari kita singkat american football menjadi football. Jauhkan dulu pikiran Anda dari sepak bola, karena tidak akan nyambung ke sana.

Insepsi kedua, apa yang ada di pikiran Anda ketika melihat dua orang pria dan wanita. Mari anggap saja pria yang di sana itu adalah teman Anda. Dan wanita yang di sana itu adalah teman Anda juga. Si pria ini tertarik dengan si wanita, sedangkan si wanita tidak sama sekali (nah loh!). Si wanita ini tidak tertarik tapi merasa begitu nyaman dengan si pria, yang pada akhirnya si pria jadi teman curhat (atau lebih kerasnya, dukun curhat). Ya, itulah namanya friendzone, istilah yang sangat populer akhir-akhir ini. Entah siapa yang mempopulerkan pertama kali.

Sekedar info (ini random), pria dan wanita itu selamanya tidak akan bisa menjadi murni teman kecuali mereka saling mematikan daya tarik. Dan tidak akan bisa menjadi sahabat dekat kecuali... tidak perlu saya teruskan, silahkan pikir sendiri. Ingin tahu lebih lanjut silahkan googling. Ada berbagai link yang menuju ke riset yang bersangkutan.

Nah, sudah dua insepsi yang saya masukkan. Sekarang mari kita olah. Di football, lapangan terdiri dari berbagai garis-garis yang banyak, kompleks pula. Biar jelas, lihat gambar di bawah ini:


Fokuskan pandangan Anda ke end zone (area hijau tua), zona akhir di mana jika bola dibawa ke area itu, maka akan menghasilkan 6 poin. Nah, perjalanan menuju ke sana itu susah, ya kadang gampang, tergantung strategi offense. Tergantung strategi dari defense juga. Jadi saling tergantung, banyak faktor memengaruhi.

Dari situ maju terus dan terus maju, dan akhirnya sampai mendekati garis end zone. Nah inilah fase krusial, di mana defense akan semakin memperketat penjagaan mereka seketat-ketatnya. Hal inilah yang sangat menyulitkan tim offense untuk menyerang. Dengan kata lain, sulit ditembus. Meski sulit, dengan strategi yang matang maka zona itu dengan mudah saja dilewati, begitu.

Lalu, apa hubungannya dengan insepsi kedua? Mudah saja. Bagaimana sekiranya kalau pria dan wanita yang saya sebutkan di atas terjebak di friendzone? Ya, sulit ditembus. Inilah benteng pertahanan terakhir yang paling krusial. Terserah kita mau melakukan apa di sana, yang jelas kalau kata orang sih ini sudah mati alias dead end. Tetapi, sulit ditembus bukan berarti tidak bisa ditembus. Seperti yang saya bilang di end zone di atas, dengan strategi yang matang, zona itu bisa kita lalui saja dengan mudah kok. Cuma butuh pengorbanan, entah mau seperti apa. Salah satunya berhenti menjadi dukun curhat, menjauh perlahan, dan kembali lagi untuk kembali menawarkan hal lain yang menuju ke lebih dari teman tentunya. Seperti apa caranya? Silahkan pikirkan sendiri, saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut. Biarkan kreatifitas Anda yang memecahkannya.

Jadi, itulah perumpamaan friendzone menurut end zone dalam american football. Salam olahraga!


28 May 2013

Gunung Bromo yang Katanya Gunung (Bagian II)

"Ah, aku bosan.", gumamku dalam hati. Perjalanan panjang yang akan memakan waktu hingga 8 jam. Kereta baru berangkat pun sudah tergambar di ruang masa depan bagaimana nantinya. Suara gaduh lokomotif, suara gaduh gerakan mengular kereta, suara para pedagang asongan yang bisa kapan saja membangunkanku di saat terlelap.
Maklum saja, kami menuju Probolinggo dengan kelas ekonomi. Kelas ekonomi bisa dibilang adalah kasta terendah dalam kancah per-kereta api-an. Bagaimana ada pembagian kasta kalau kita menuntut kesetaraan?
Jawabannya simpel, pembagian kasta untuk memenuhi kemampuan membeli dari berbagai lapisan masyarakat. Untuk ekonomi, sebagian besar dihuni oleh mahasiswa yang ingin pulang kampung, turis asing maupun domestik yang ingin menghemat pengeluaran transportasi, serta keluarga menengah ke bawah yang terkadang menggunakan lorong sebagai tempat tidur.
Ah, ekonomi, kau potret dari betapa senjangnya jarak si kaya dan si miskin.

Gambaran dari pikiran liar ruang masa depan ternyata tidak hanya isapan jempol kaki. Dengan kata lain, itu semua benar-benar terjadi di sepanjang perjalanan, nonstop, ya nonstop, paling tidak ada jeda sekian menit saja. Apalah artinya jeda sekian menit jika tidak memuaskan. Jeda yang terbilang pendek itu sedikit membuat tidak nyaman, sekaligus mengganggu akibat dari nakalnya kursi yang sudutnya tidak bisa diubah sama sekali.
Ah, ekonomi, kau potret dari betapa harga yang murah memang membayar semua ketidaknyamanan itu.

Sepanjang perjalanan memandang kanan kiri yang dihiasi oleh pemandangan yang biasa saja: sawah, hutan, rumah huni pinggir jalan beserta jemurannya, anak kecil berlari mengejar temannya, tiang listrik yang kaku, palang pembatas perlintasan yang kadang tidak dipatuhi oleh pengguna kendaraan, dan masih banyak lagi realita masyarakat kita yang rasa-rasanya sudah penuh sesak saling bertetangga.

Memandang lagi ke depan, seorang ibu dari Jombang (yang saya tahu dari obrolan singkat dan tidak bermakna sama sekali) yang sepertinya ingin pulang ke kampung halamannya.
Sembari tersenyum dia menawarkan sedikit makanan kepada kami bertiga. Dan bisa ditebak betapa sok jual mahalnya kami. Dengan tidak tegas dan malu-malu, kami menolak pemberiannya karena masih ada bekal kami yang belum dimakan. Alang-alang mubazir padahal pengen. Ah, menjaga imej memang berat, status mahasiswa sopan dan baik hati masih berhasil kami pegang dengan sedikit terbuka di sela-sela jemari.

Memandang ke belakang, tidak apa-apa selain sandaran kursi sudutnya konstan, statis, bikin pegal punggung. Lalu sedikit melirik ke bagian ke kanan, ada beberapa keluarga yang sedang asyik membicarakan sesuatu, entah tentang politik, gaya hidup, atau malahan sekedar mendiskusikan besok mau makan apa. Sedih. Sedikit.

Memandang ke atas, sedikit ke kanan, tasku terbaring mantap dengan nyenyaknya. Ia tidak bergoyang sedikitpun. Ia terhimpit di antara dua tas besar yang nakal, genit menyentuh bagian samping tasku.
Ia adalah ransel yang sudah sekian tahun menemani masa studiku di UGM selama 3 tahun lebih sedikit. Tas yang luar biasa awet, tidak ada robek sedikitpun. Segaka puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang menciptakan ilmu pengetahuan sehingga ditemukanlah suatu metode menjahit yang sempurna.
Terima kasih juga kepada seluruh penjahit tas di seluruh dunia. "Kalian luar biasa!", begitu kata Ariel NOAH.

Memandang kemanapun bosan, kecuali memandang ke kanan. Mereka teman perjalananku. Ya, siapa lagi kalau bukan manusia. Manusia yang bisa diajak ngobrol, bercerita tentang apapun kecuali tanggal ulang tahun, haha.
Banyak hal yang kami obrolkan yang tidak perlu kalian (para pembaca) tahu. Cukup kami dan beberapa saksi bisu.
Tapi sayangnya obrolan itu sebentar saja sebelum pada akhirnya angin dari luar berhembus menyapu semua keramaian di dalam menjadi sebuah suara turbulensi angin. Turbulensi sepoinya menghanyutkan, membuat kami ingin tidur.
Dan pada akhirnya tidurlah mereka dan aku masih terjaga. Masih membuka mata, menerawang masa lalu dan sedikit rencana di masa depan: skripsi. Seketika aku jengkel mikirnya.

Sekian jam melamun dengan sedikit tidur ringan. Sambil mendengarkan lagu-lagu dari film "Les Miserables", "Inception", dan "Petualangan Sherina". Syukurlah aku tak sendiri, masih ada HP dengan internetnya untuk menyaring informasi dan hiburan musik sederhananya.

Sekian jam terus berlalu sampai tiba saatnya menuju stasiun di Surabaya (lupa namanya). Dengan mata yang sedikit sepet karena cuma tidur sebentar, ditambah angin deras mengguyur mata menjadikan sepet kian menjadi. Ya, kami tiba di Surabaya.
Itu artinya beberapa jam lagi tiba di Probolinggo, tujuan final kami.

Bersambung...

21 February 2013

Gunung Bromo yang Katanya Gunung (Bagian I)

Liburan semester ganjil sudah lewat, menyisakan sedikit sekali cerita yang bisa dibanggakan, kebanyakan adalah cerita klise dimana saya menghabiskan waktu di kos: nonton film, main game, browsing, baca buku, sesekali mengintip televisi (sebenarnya tidak ada manfaatnya), potong kuku, makan, dan memikirkan dia (yang belum tentu mikirin saya).

Tapi cerita klise itu akhirnya ditepis oleh ajakan jalan dari dua teman saya. Mereka berencana pergi liburan ke Gunung Bromo. "Hmmm sepertinya asik", begitu pikiran saya berbicara waktu itu. Dan seketika itu juga saya langsung melihat saldo tabungan, dan saya rasa cukup buat ke sana, sip lah.

Sebenarnya rencana ini dadakan, banget malahan. Bayangkan deh, rencana jalannya baru ada hari Rabu, sementara berangkatnya hari Sabtu. Luar biasa mendadak bukan?
Untung saja karena seringnya saya bepergian jauh, rencana plesir mendadak bukanlah halangan (tsaaah).

Tapi... ada beberapa masalah sih, seperti rute yang harus dilewati, penginapan di sana, apalagi kami hanya bertiga. Sebenarnya sudah mengajak beberapa teman, tapi sebagian besar tidak bisa, dengan alasan budget, padahal ya kalau ramai kan harga bisa ditekan. Ya jadilah kami hanya bertiga ke sana.

Hari keberangkatan semakin dekat, tiket belum dipesan, padahal sudah sehari sebelum cabut. Tapi karena tujuan kami ke Probolinggo dan bertepatan dengan waktu yang relatif sepi penumpang, akhirnya kami berasumsi bisa mendapatkan tiket di stasiun satu jam sebelum kereta berangkat. Okesip, satu masalah selesai. Check!

Masih sehari sebelum berangkat, malamnya, ketika saya sedang makan malam bareng teman-teman SMA, salah satu rekan saya mengirim pesan singkat yang berisi, "Ko, dah packing belum? Bawa apa aja?".
Well saya pastikan rekan saya satu ini jarang jalan jauh, packing aja nanya bawa apa aja. Oke gak papa, karena saya kurang tega melihat penderitaan seseorang, ya sudahlah saya SMS rinci apa-apa aja yang perlu dibawa. Okesip, satu masalah (teman) saya kelar. Check!

Akhirnya tiba waktunya untuk cabut! Hari itu hari Sabtu, rencana mau naik kereta yang berangkat jam 9. Jadi sudah harus tiba di stasiun jam 7.
Karena harus sepagi itu di stasiun, ba'da Subuh saya langsung mandi. Packing, gila kan baru packing pagi-pagi. Tapi gak masalah sih packing mendadak, sudah sering (sombong). Habis packing, saya langsung cabut buat jemput teman saya dulu di asramanya.
Tapi... luar biasa Bung... Yang namanya jam karet berlaku di mana-mana. Ya gimana gak ngaret ya 'kan, wong jam 7 sudah harus di sana. Kepagian Mak! -_-"
Saya sih ngaret sedikit aja (pembelaan), cuma telat 5 menit. Pihak yang dijemput memaksa saya untuk menunggu selama hampir 10 menit. Jadilah kami berangkat ke stasiun pukul 07:15 dan sampai di Lempuyangan pukul 07:30.

Sesampainya di stasiun, langsung parkir motor buat nginep di sana selama 2 hari. Lalu menuju ke lobi untuk beli tiket. Sesampainya di sana ada masalah baru lagi, satu teman lagi belum datang. Seperti yang pernah saya bilang, ngaret berlaku bagi siapa saja. Jadilah kami berdua menunggu sekitar 15 menit.

Tik tok tik tok, 15 menit berlalu dan datanglah dia. Kami pun bergegas ke loket, dan apa yang terjadi? Dia lupa bawa kartu identitas, haish... Jadilah ia meminjam motor saya untuk ke kosnya. Saya pun menunggu sekitar 8 menit, ditemani koran Kompas yang sengaja saya beli, mumpung murah, di stasiun cuma Rp 2.000,-. Waktu itu lagi seru-serunya berita tentang konspirasi sapi PKS, prahara PKS, tobat nasional PKS. Semua berbau PKS lah pokoknya. Kasihan partai sebersih ini (insya Allah) jadi bulan-bulanan media. Loh kok jadi ngomongin partai? Santai, intermezzo.

Fiuh akhirnya datanglah si telat itu, kami pun ke loket dan berhasil membeli 3 buah tiket tujuan Probolinggo, berangkat pukul 09:10. Sembari menunggu kereta datang, alangkah baiknya mengisi perut dulu di dalam peron. Saya cuma minum teh, soalnya sudah sarapan di kos.
Acara makan dan minum itu kami habiskan dengan berbicara mengenai hiruk pikuk dunia politik saat ini (bohong banget, aslinya kami sedang nyinyir).

Bla bla bla teeeeeet, akhirnya keretanya datang! Kami langsung memposisikan pantat kami di dalam kereta ekonomi itu. Duduk bertiga berhadapan, dan ada satu ibu-ibu yang tidak kami kenal. Awkward... wusss...

Bersambung... :v

18 January 2013

Galau Finansial

Keadaan keuangan merupakan situasi yang amat sangat penting dalam kehidupan mahasiswa. Saking pentingnya, kita tidak bisa hidup tanpanya.
Namun apa jadinya jika keuangan mengalami kegalauan?
Sepertinya saya sedang mengalaminya. Di saat kebutuhan banyak, di saat itulah dia datang menghampiri, tidak terduga.

Ada beberapa hal yang membuat saya mengalami galau finansial. Berikut penuturan langsung dari penulis.

Satu hal yang mungkin dianggap tidak penting bagi sebagian orang, saat ini saya ngidam miniatur kapal Going Merry.

Gambar miniatur kapal Going Merry
Tidak hanya itu, ada lagi barang yang ingin saya beli, dan statusnya sangat penting, alias harus punya!
Itu adalah sarung tangan khusus receiver, yang biasa dipakai oleh atlet NFL untuk menangkap bola.
Kenapa sangat penting? Karena saya akhir-akhir ini berulang kali mengalami cedera jempol, salah satu resiko penangkap bola dalam flag football. Cedera jempol yang dominan adalah terkilir, biasanya baru akan sembuh dalam beberapa hari. Tidak terlalu sakit sih, cuma kurang nyaman saja kalau beraktivitas.
Itulah mengapa saya sangat membutuhkan sarung tangan itu. Dalam waktu cepat harus punya. Lagi-lagi ini membuat saya dilema.

Satu lagi, dan yang terpenting, dalam waktu dekat saya diajak berkeliling setengah Pulau Jawa. Oke agak berlebihan, sebetulnya tidak sampai setengah juga, seperempat juga belum. Maksudnya setengah Pulau Jawa ya pelesir dari Cilacap, Malang, dan Situbondo. Jika dalam satu titik di tiap kota kita buat radius khayalan sekitar ratusan kilometer, mungkin bisa saja setengah Pulau Jawa kita jamahi.
Pelesir sebenarnya bukan bermaksud apa-apa, hanya untuk bersenang-senang sambil menikmati keindahan Indonesia (tsaaah, lagi bijak).

Apa lagi? Sebenarnya hanya itu yang membuat saya dilema bukan kepalang. Entah kenapa dilema lebih saya suka struktur kalimatnya ketimbang galau. Ya maklum saja ya, saya kan tumbuh di tahun '90-an.

Dan pada akhirnya dari kesemua hal di atas, sepertinya sulit untuk menentukan mana yang akan jadi prioritas. Biarkan saya yang menjawab.

Lagi malas nulis :v

09 January 2013

Individu yang 'Kuat'

Kita semua dilahirkan sendiri, tapi ketika sudah mencapai usia yang bisa dibilang agak dewasa, kita tidak bisa hidup sendiri. Karena manusia adalah makhluk sosial (dari matkul Kewarganegaraan) maka kita senantiasa membutuhkan orang-orang di sekitar kita, mulai dari orang tua, saudara, teman, dosen, atau siapapun itu (?).
Semua orang di sekitar kita, pasti memiliki karakter masing-masing, dan ada saja di antara mereka terdapat beberapa orang yang kuat. Kuat di sini bukan secara bahasa, melainkan secara istilah.
Kuat secara bahasa bisa dilihat dari fisik, dia kuat, dia kekar, dia bisa mengangkat beban yang berat (saya banget nih). Oke itu cuma bercanda...
Nah kuat secara istilah bisa dikaitkan dengan masalah hati. Ya hati, lebih spesifik, masalah cinta. Mungkin bisa ditafsirkan sendiri tanpa bimbingan saya. Terlalu menyakitkan kalau menjelaskannya (halah!).
Jadi kuat itu adalah ketahanan suatu benda untuk menerima beban yang ditekankan kepadanya, dalam satuan kN biasanya. Loh kenapa jadi matematis begini? Oh maklum, saya anak teknik soalnya. Problem? :v

Ngomong-ngomong, jarang-jarang saya membahas masalah ini. Saya dikenal sebagai orang yang cuek sebenarnya. Tapi tidak akhir-akhir ini. Mungkin akibat dari pertambahan usia, yang semakin hari semakin tua saja. Dan semakin memikirkan masa depan yang banyak ditanyakan oleh banyak orang.

Kembali ke inti masalah...
Jadi orang-orang kuat itu luar biasa di mata saya. Mereka senantiasa menahan rasa sakit yang tak tertahankan (serasa iklan Panad*l). Dan pada akhirnya (untuk menyingkat waktu) saya nobatkan predikat orang kuat kepada mereka yang jatuh cinta dalam diam (tsaaah).
Mereka ini hebat, mereka begitu kuat menahan suatu perasaan, tidak pernah mengungkapkannya padahal ingin sekali. Mungkin karena takut tidak bisa mempertanggungjawabkan perasaan itu, atau mungkin juga bingung apa memang sesuka itu, atau jangan-jangan perasaan itu cuma sekelebat efek dari keegoisan masa puber kedua.
Sebenarnya saya tahu mereka ini seperti apa maunya. Kenapa saya tahu? Ya karena saya juga pernah mengalaminya.

Untuk lebih jelasnya saya beri contoh saja ya, yang simpel, dan seperti biasa fiktif.

Jadi begini, ada orang namanya A. Nah si A ini suka sama seseorang begitu, sebut saja orang yang dia suka dengan nama B. A dan B ini jarang bertemu, tapi si A suka mengamati si B secara diam-diam (cieee).
Mau mendekati entah kenapa dag dig dug mendominasi, akhirnya tidak jadi menegur dan mengajak berkenalan. Begitu terus setiap hari, dan selalu kejadian itu yang terulang, kejadian di mana si A mengamati si B dalam diam. Selalu... begitu, sampai si narator bisan menunggunya.
Nah kejadian itu berulang kali terjadi selama beberapa bulan, sampai akhirnya si A dan B ini sekelas. Entah takdir entah apa, yang jelas ini semau saya, toh saya yang bikin cerita (egois).
Si A, tentu saja tanpa disuruh untuk bergembira, sudah mencak-mencak sendiri, berteriak dalam hati, "Inilah kesempatanku."
Dan apa yang terjadi... Yak, benar, si A belum berani untuk mengajak berkenalan. Dan itu (lagi-lagi) berlangsung beberapa bulan.
"Ah si A ini payah ya, mau kenalan aja susahnya minta ampun.", kata pembaca seraya menatap sinis, dan kata teman dekatnya (sambil menatap meremehkan juga).
Ah tapi tidak ada yang bisa disalahkan di sini. Bagaimanapun yang namanya jantung berdegup lebih kencang itu kerap mengalahkan segalanya, termasuk keberanian. Awalnya sudah mantap ingin menegur duluan, eh lagi-lagi jantung mendominasi. Ya Kawan, jantung itu egois, dia selalu mengambil alih segala keberanian kita. Oh iya, sebenarnya bukan jantung sih, tapi lebih ke hormon insulin. Entah itu hormon apa, yang jelas dia bertanggung jawab dengan segala dag dig dug yang pernah kita alami, dialah yang memacu adrenalin untuk berpacu lebih cepat, mengalahkan keberanian tuannya. Kejam memang, tapi kita tidak bisa menyalahkan hormon juga, bagaimanapun dia tak pernah salah. Toh dia ciptaan Tuhan, dosa loh kalau menyalahkan ciptaan Tuhan itu secara sembarangan, bahaya (bijak).

Karena selalu dag dig dug itulah, si A curhat (tsaaah) ke teman dekatnya yang kebetulan dekat dengan si B. Yap, takdir selalu berpihak pada orang yang berharap (tidak selalu sebenarnya). Tanpa dinyanapun di A sudah punya inisiatif untuk dikenalkan ke si B.
Oh iya, kita sebut saja teman dekatnya si A dengan nama C. Semoga bermanfaat (?).

Time slip... Si A akhirnya sudah kenal dengan si B. Terima kasih buat si C yang mau dengan terpaksa membantu proses cerita. Sekali lagi terima kasih.

Waktu terus bergulir, sejalan dengan bertambah dekatnya mereka (si A dan si B). Si C turut senang. Bagaimana tidak? Si C akhirnya tidak direpotkan oleh si A lagi. Si C senang sekaligus tenang.
Eh tapi, kedekatan si A dan si B ini hanya sebatas teman, tidak lebih, selebihnya cuma teman kelompok tugas. Tidak lebih, selebihnya cuma teman makan, itupun bareng yang lain. Tidak lebih, selebihnya cuma teman pulang, itupun (lagi-lagi) bareng teman-teman yang lain.
Segala tidak lebih, karena memang tidak ada yang lebih di antara mereka.

Selebihnya adalah, bersambung...